CLEANING SERVICE MENJADI KETUA PENGADILAN


JANGAN_PERNAH_MENYERAH

(Mereview sebagian kisah memasuki 48 Tahun)

Sekiranya bisa memilih, tentulah setiap orang memilih lahir, dibesarkan dan berada dalam keluarga yang berkecukupan. Tetapi itulah misteri kehidupan, setiap orang tidak bisa memilih siapa ayah, ibu serta kapan dilahirkan maupun kapan dipanggil oleh Sang Pencipta.

Ayah saya hanya lulusan SR sementara ibu hanya sampai kelas III SR, berprofesi sebagai petani kecil. Waktu balita kami pernah pindah mengadu nasib ke Kota Sibolga, ayah menarik becak dayung, dan Ibu upahan menjemur ikan teri dipinggir pantai Sibolga.

Sadar tidak ada perbaikan ekonomi, keluarga kami pulang ke kampung bertani seperti semula. Setiap bulan Februari hingga Maret ayah pergi "Mangombo" (upahan) memanen padi orang di Tanjung Leidong. Ayah juga sering upahan menggergaji papan hingga ke Sipirok, maupun daerah lain, hanya untuk mendapatkan uang, sementara Ibu saya setiap hari Selasa (pekan) mengolah dan menjual tape, berjalan kaki 7 Km hingga ke Pasar Siborong-borong.

Pengalaman itulah yang mendorong saya  memilih jurusan IPA (A.1) pada tahun 1988 di SMA Negeri Siborongborong, dengan harapan selepas SMA bisa kuliah menjadi Sarjana Pertanian atau Sarjana Teknik.

GAGAL TIDAK MASALAH

Pada awal bulan Juni 1990 saya diantarkan Ayah ke Padang, untuk bisa mengikuti UMPTN. Saya memilih jalur IPA Campuran (IPC) dari Universitas Andalas Padang, namun pada saat pengumuman dinyatakan tidak lulus. Maklum saya tidak pernah ikut Bimbingan Test.

Atas dorongan orang tua, saya mencoba mengikuti seleksi Calon Tantama TNI AD di  Kota yang sama, namun  masih pada test kesehatan sudah dinyatakan gagal. Padahal saya sudah banyak latihan renang di Kolam Renang Teratai, latihan kesamaptaan dan kebugaran fisik lainnya dibawah asuhan Saudara Sepupu, sekaligus induk semang saya Serka TNI AD S. Nababan.

Dari Padang Sumatera Barat lalu pindah ke Kota Kisaran selanjutnya ke Kota Medan, dan sempat dua kali mengikuti test CPNS di Departemen Kehakiman Sumatera Utara setelah tidak lulus, juga mengikuti test CPNS di Kodam I/BB Medan, namun tetap tidak lulus, sementara teman-teman sebaya sudah kuliah baik di Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta.

Tentulah kondisi itu menjadi beban psikologis tersendiri, sehingga saya memutuskan akan kembali ke kampung membantu orang tua bertani, mengingat adik-adik saya sebanyak 5 orang membutuhkan biaya sekolah.

Sebelum pulang kampung Bulan Desember 1992, ada penerimaan CPNS Golongan I/b, yang diperuntukkan sebagai tenaga Satuan Pengamanan (Satpam) di Jajaran Departemen Kehakiman Sumatera Utara. Berbekal harapan yang tersisa, dan atas anjuran Bapak Uda yang juga induk semang Pdt. Dr. JS Nababan, SH mengatakan, "Yang penting kau punya NIP dulu, selanjutnya nanti kita pikirkan" tegasnya pada waktu itu".

Akhirnya saya memutuskan mendaftar,  mengikuti ujian di Stadion Teladan Medan dengan mempergunakan ijazah SMP. Setelah lulus test tertulis, lalu mengikuti wawancara di Kanwil Kehakiman Sumatera Utara, Jl. Putri Hijau Medan.

Sebenarnya pada tahun baru 1993 semua pakaian sudah Saya bungkus dan bawa ke kampung, namun pada pertengahan Januari 1993, saya meminta ayah membeli koran SIB ke Siborong-borong, ternyata nomor ujian Saya dinyatakan lulus bersama 75 orang CPNS Golongan I/b lainnya dan lebih 200 orang Golongan II dan III.

Ketika itu saya sedang membajak di sawah, karena senangnya, kami langsung pulang ke rumah, walaupun pekerjaan belum selesai, ayah menangkap ayam jantan, mengucap syukur bersama keluarga, anaknya diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil.

Besoknya Saya kembali ke Medan. Tanggal 31 Maret 1993  saya mendapat status baru sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil, tugas pokok sebagai Satpam dan Jaga Malam, dengan gaji pokok 52 ribu rupiah.

LANGKAH PERTAMA, ITU PENTING

Menjadi CPNS Golongan I/b, tidaklah enak, gaji hanya 52 ribu rupiah, tidak cukup untuk beli nasi bungkus, biaya kost dan ongkos angkot.  Maka untuk mensiasatinya, setiap hari saya membawa nasi bontot ke kantor, dan lauknya hanyalah telor goreng. Setiap makan siang, numpang  di rumah teman, belakang kantor, pinggir Sungai Babura, sudahlah pasti tubuh kurang gizi.

Tugas sehari-hari lumayan berat,  jaga malam, merangkap cleaning service. Tidur di kursi panjang pengunjung sidang, dan nyamuk sangat banyak, maka sebelum tidur kaki, tangan dan leher  harus diolesi anti nyamuk autan. Tetapi biasanya pukul tiga dini hari nyamuk kembali mengganggu, karena autannya tidak bertahan sepanjang malam.

Suatu ketika, saya mendengar khotbah Pendeta: “Kamu akan terus naik dan tidak akan pernah turun, menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, jika kamu mendengar suara Tuhan Allahmu dan berpegang pada perjanjianNya”. Bagaimana Saya Golongan I/b menjadi kepala, sementara dalam daftar absensi kepegawaian, nama sayalah penutup yang paling bawah, pikirku kala itu. Namun dengan mata iman, Saya mulai memperkatakan itu bisa terwujud dalam hidup Saya, itu pasti digenapi, harapku, kala itu.

Lalu saya berpikir, bagaimana bisa menjadi kepala, tentunya haruslah kuliah. Saya menghadap Ketua PTUN Medan waktu itu dijabat oleh Bpk. Dr. Lintong O. Siahaan, SH.,MH seraya mengutarakan niat tersebut.

Mendengar penuturan saya, beliau memberi petuah, “Hidup ini seperti rumah makan, di daerah sunyipun, kalau menunya enak, pasti dicari orang”. Supaya menunya enak, harus belajar, silahkan kuliah!, tegasnya pada saya.

Lalu Saya balik bertanya: “Apa bisa penyesuaian ijazah nanti Pak, karena Saya saat ini masih Golongan I/b?”, lalu beliau jawab, “Ngapain kamu berpikir hanya sebagai PNS, kalau kamu punya ilmu, cari profesi lain sesuai dengan keilmuan yang kau miliki, nggak usah pikirkan bisa atau tidak penyesuaian itu", ujarnya dengan nada tegas.

Atas dasar itulah, maka bulan September 1993 Saya Kuliah pada Sore dan malam hari di Universitas Dharmawangsa Medan, maka jadilah Saya alumni “Mahusor” (Mahasiswa Hukum Sore) lulus bulan Juli 1998. Untuk bisa menyelesaikan kuliah itu sangat berat, karena keterbatasan dana, sehingga terkadang ketika mau bayar uang kuliah, harus minjam uang teman dan tak ketinggalan kredit ke BRI.

Tetapi dengan pertolongan Tuhan bisa tamat tepat waktu, tanpa beban hutang, walaupun Indeks Prestasi hanya 2,83, menurutku itu sudah merupakan suatu mujizat.

Sejak kerja sambil kuliah September 1993, saya pamit dari keluarga Bapa Uda dan mengontrak sebuah rumah di Kawasan Jalan Pancing, Medan bersama 4 orang adik saya. Karena ketika mereka mengetahui abangnya sudah menjadi PNS, mereka minta sekolah dan tinggal bersama saya di Medan.

Selama lebih kurang 3 tahun tinggal di rumah Uda, saya punya kesibukan mencuci pakaian, membersihkan rumah, gedung gereja, memasak dan membersihkan mobil. Merawat dan memelihara anjing, monyet, dan burung terukur. Aktifitas itu sangatlah mengasyikkan, apalagi jumlah kami banyak tinggal di rumah itu.

PERISTIWA LUCU

Sebenarnya ada banyak peristiwa lucu dan konyol selama bersama Bapak Uda saya itu. Ketika kami tinggal di Jl. Gunung Singgamata, Bukit Barisan, Krakatau Medan. Setiap hari tugas saya memberi makan burung terukur 3 ekor dan membersihkan sangkarnya, dan tiap minggu harus dimandikan secara hati-hati.

Usai memberikan makan, suatu pagi saya lupa menutup sangkarnya. Benar saja usai diletakkan dalam gantungan sang tekukur-pun keluar sangkar, terbang dan hinggap ke pohon mangga depan rumah. Saya berusaha menangkapnya, tapi apa daya, ketika hendak ditangkap selalu berpindah tempat, akhirnya burungpun kabur.

Saya sadar, itu burung favorit kesayangan Uda, karena suaranya merdu 3 ketok di belakang, dan setiap pergi dan pulang kerja, Bapa Uda selalu memetik burung tersebut, suaranya nyaring, merdu dan bersemangat. Sebenarnya saya berharap burung itu kembali ke sangkarnya, ternyata hingga siang hari, tidak juga menampakkan wajahnya, suaranyapun tidak kedengaran lagi.

Saya berpikir, sekiranya Bapa Uda pulang mengetahui peristiwa itu, pastilah dia marah. Maka saya kasih tahu ke Inang Uda (istrinya), dia bilang "pasti udamu marah, Derman tahu kan itu burung kesayangannya" jawabnya. Setelah bertukar pikiran, lalu Inang Uda bilang "kita harus segera mengganti burung itu, segera kau ke Pasar burung, cari tekukur yang hampir mirip, beli dan masukkan ke sangkarnya", ujarnya.

Segera saya ke Pasar burung, mencari yang ukuran tubuh dan warnanya hampir mirip, lalu saya masukkan ke sangkar. Benar saja, ketika Bapa Uda pulang kantor, dia langsung petik tekukur favoritnya, ternyata burungnya cuek dan tidak bersuara.

Dia lakukan berulang-ulang, tetap saja burungnya diam, malah bergerak-gerak menabrak sangkarnya, sepertinya berusaha mencari jalan keluar.

Sadar akan keanehan prilaku burungnya, Bapa Uda memanggil saya, dan bertanya "mengapa burung uda ini tidak bunyi, biasanya melihat saya saja dia sudah bersuara, ini malah ketakutan, apa tidak kau kasih makan?", katanya dengan nada marah. Dengan suara lembut saya jawab "mungkin lagi kedinginan Uda, ini kan musim hujan", sanggahku ketika itu. Iya sudah, besok pagi saja katanya, dengan raut wajah kesal.

Besok paginya burungnya tidak bersuara, cuek dan sepertinya tidak kenal, lalu Bapa Uda panggil saya lagi, "Pagi ini juga masih sama, kenapa ini Derman?, hardiknya dengan nada keras. "Sabar uda, mungkin dia lagi stress kali, ada kalanya burung itu memasuki masa-masa stress, bisa saja karena pergantian musim Uda", jawabku membela.

Peristiwa itu berulang, Bapa Uda tidak mengetahui sebab, mengapa burungnya tidak lagi mau berbunyi. Akhirnya setelah satu bulan berlalu, Inang Uda bilang, "Derman sudah bisa kita kasih tahu ke Udamu".

Lalu pada hari Minggu sambil saya memijat badannya, kami ceritakan peristiwa itu ke Bapa Uda, benar saja dia marah, "akupun sudah curiga, ternyata benar kalian telah membohongi aku, tahu kalian kan itu burung kesayanganku" dengan nada emosi.

"Tetapi sudahlah, yang ada itu kau rawat baik-baik, jangan sampai lepas lagi, dan kau harus rajin melatihnya, supaya dia mau berbunyi", tambahnya.  "Siap Uda", sambutku dengan cepat.

Kisah itu hanya sebagian kecil, setiap ketemu dan mengingat peristiwa itu, saya dan Uda saya pasti tertawa terpingkal-pingkal. Ada-ada saja kejadian lucu Derman, katanya.

TEST CALON HAKIM

Usai wisuda Sarjana Hukum, saya mendengar ada penerimaan Calon Hakim, bulan Oktober 1998, saya ikut Test dari Pengadilan Tinggi Banda Aceh. Pada saat itu teman-teman satu kantor agak pesimis, karena biasanya penerimaan Calon Hakim dari jalur PNS jarang yang lolos  satu kali ujian.

Apalagi ketika itu, saya baru saja penyesuaian ijazah Golongan II/A. Setelah pengumuman test kemampuan akademik dinyatakan lulus, pada bulan Pebruari 1999 saya ikut test wawancara dan kepribadian di kantor Menteri Kehakiman dan Ham di Jakarta.

Ada banyak pertanyaan dari Penguji, Hakim Agung dan Psikolog yang diajukan, tetapi ada satu pertanyaan yang menurut saya paling berkesan dari seorang Penguji :”Apa motifasi saudara menjadi calon hakim?”. Lalu berpikir sejenak dan saya jawab : “Saya rindu menjadi berkat bagi banyak orang”.

Kemudian Penguji bertanya lagi: ”Maksud Saudara menjadi berkat seperti apa...?”. Lalu saya katakan: “Menjadi berkat, apabila suatu saat menjadi hakim tidak hanya sekedar menghukum orang yang bersalah, tetapi juga memberitahukan mengapa dia salah, bagaimana supaya tidak melakukan itu lagi, dan kalau tidak salah akan Saya bebaskan”, jawabku tegas.

Penguji menyatakan : “Cukup”, lalu saya mohon diri dengan mengatakan, Terima kasih Ibu, saya mohon ijin dan Tuhan Memberkati.

Puji Tuhan, ketika pengumuman bulan April 1999 hati begitu senang, membaca nama saya salah satu yang dinyatakan lulus bersama 100 orang teman dari seluruh pelosok negeri.

Saya merasakan percepatan kenaikan pangkat dari pangkat terendah Golongan I/B dengan tugas pokok sebagai Satpam menjadi Golongan III/A status Calon Hakim hanya dalam kurun waktu 5 tahun. Dia, Tuhan yang berjanji, sungguh baik dan teramat baik.

Setelah diklat selama 6 bulan, saya ditempatkan jadi Calon Hakim di PN Tebing Tinggi Deli. Bulan Januari 2002 dilantik menjadi Hakim di PN Padang Sidimpuan. Bulan April 2007 dipindah tugas ke PN Tarutung. Bulan Juli 2010 dipindah tugas ke PN Jepara. Bulan Juli 2012 dipindah tugas ke PN Lubuk Pakam. Bulan Agustus 2015 menjadi Wakil Ketua di Pengadilan Negeri Balige, dan tanggal 25 Nopember 2016 dilantik menjadi Ketua Pengadilan Negeri Muara Bulian di Propinsi Jambi.

KOMITMEN BERBAGI

Saya sering mendengar kata-kata orang bijak, bahwa keindahan hidup terlihat dari seberapa jauh kita terbeban berbagi hidup. Maka dari itu ketika bertugas di Padang Sidimpuan, saya menjadi Ketua DPC GAMKI Kota Padangsidimpuan dan dipercaya BKAG sebagai Ketua Umum Panitia Natal Tapanuli Selatan dan Kota Padang Sidimpuan pada tahun 2004 dan Ketua Panitia Seminar Narkoba Lintas Agama oleh PGI Wilayah Sumut di Padang Sidimpuan.

Ketika bertugas di Pengadilan Negeri Tarutung dipercaya menjadi Ketua Pembangunan GBI Tarutung Kota tahun 2009. Ketika bertugas di Jepara,  menggagas Batak Jepara Bermazmur, dengan menghimpun orang-orang Batak Kabupaten Jepara 2012.

Di Lubuk Pakam dipercaya Sebagai Ketua Ketua Umum Panitia Natal Oikumene dan Pesparawi Kabupaten Deli Serdang tahun 2013 dan Ketua Umum Panitia Perayaan Paskah Oikumene Kota Medan 2014, Sekretaris Umum Panitia Jubileum 50 Tahun PGI Wilayah Sumut Tahun 2015, serta aktif menjadi nara sumber pelatihan kepemimpinan Pemuda dan mahasiswa, GAMKI, GMKI, bahkan ketika bertugas di PN Tarutung dan PN Balige, menjadi Dosen Fakultas Hukum UNITA Sisingamangaraja XII, Silangit, walaupun tidak cakap mengajar.

Dalam proses perjalanan itu, terlalu banyak pergumulan hidup suka dan duka silih berganti.
Saya menyadari Lagu "Tak Pernah Tuhan Janji", sungguh menguatkan.

Tak pernah Tuhan janji, hidupku takkan berduri,
Tak pernah Dia janji lautan tenang.
Tetapi Dia berjanji Dia kan slalu sertaku,
Dan menuntun jalan hidupku slalu.

Kutahu satu hari awan gelap kan berlalu
Sang surya bersinar dengan megah
Rembulan dan bintang menampakkan wajahnya
Haleluyah, Tuhan kuatkan jiwaku


JanjiNya Dia pegang tanganku
JanjiNya, Dia atur langkahku
Ku bersyukur, Dia akan selalu sertaku

Karena itu, jangan pernah menyerah, jangan berputus asa, mujizat Tuhan ada bagi yang setia dan percaya.

Tetap Semangat dan Antusias

Saksikan Video Pecundang Jadi Pemenang


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kesaksian Aktor Pemeran The Passion Of The Christ

Kisah Nyata Missionaris David Flood dan Svea di Zaire

KESOMBONGAN MENDAHULUI KEHANCURAN